Nekat

Dulu pengen mengkhayal bangun rumah ukuran sekian kali sekian, pengen bikin sketsa atau orat-oret dan pengen tau hitungan kasarnya atau perkiraan biayanya. Sulit banget.

Untuk aku yang awam, googling saja nggak cukup. Aku coba riset ke teman dan kenalan yg sekiranya di bidang “membangun”, ternyata mereka seperti nggak bisa menyebutkan angka. Ada beberapa yang mau nginfo, ohh per meter persegi sekian rupiah, ohh kalo borongan di aku sekian rupiah.

Tapi beberapa orang seperti meremehkan mimpiku dan Rai. Ada yang bilang, oke nanti saya buatkan gambar, eh sampe sekarang nggak ada tuh, bahkan WA pun nggak. Ada yang malah komen, kamu emang mau membangun dimana? Ngapain membangun? Diem aja di sana (rumah mertua). Bahkan ada yg sangat meremehkan, kamu emang punya modal berapa sih. Pas aku jawab 15juta, dia bilang, udahlah moda segitu mending kamu tabung aja buat sekolah anak. Kamu nggak akan mampu.

Ada, really, aku nggak mau sebut namanya tapi beneran ada yang menilai aku nggak mampu.

Hey, seribu rupiah juga uang yang bisa berlipat ganda.

Aku berterima kasih banget ke suamiku, Rai. Dialah yang berjuang untuk mendapatkan ijin dan restu. Aku mah apa, cuma ngasi ide, gagasan dan perencanaan. Kita berjuang sama-sama. Ini asli modal nekat. Saat tulisan ini dibuat, kami punya cicilan yang cukup besar.

Harapanku, doaku, dalam waktu 1 tahun kami mampu melunasinya dengan baik dan lancar. Semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan bagi kami semua.

Menyingkir

Ohya ada yang mau aku ceritain juga. Beberapa kali, cukup sering. Aku bisa ngerasain dimana orang-orang nggak membutuhkan aku, nggak mengharapkan aku ada. Dalam sebuah kegiatan, acara, perkumpulan, pertemanan. Aku bisa ngerasain itu. Dimana pun.

Aku sadar nggak semua orang nyaman ada aku. Apalagi aku yang katanya dulu keras, jutek, pokoknya aku orang yang nggak asik bagi mereka. Aku orang yang buruk bagi mereka. Bahkan ada circle yang nggak nyaman sama aku karena aku nggak nimbrung gosipin orang dan jelekin orang. Ada circle yang risih sama aku karena aku mengungkapkan sudut pandang dari sisi orang yang mereka jelekin, karena kesannya aku ngebelain orang yang mereka jelekin.

Aku nggak masalah sekarang. Aku nggak dianggap juga silakan. Aku nggak diajak juga oke banget. Sangat sangat nggak masalah. Aku nggak apa-apa kalo cuma aku yang nggak tau informasi 🥰

Semua cuma masalah kebiasaan. Sekarang aku terbiasa dengan itu. Damai lho rasanya. Tenang. Otak rasanya rapi dan bersih, nggak kusut. Kalo memang kita ketinggalan, yaudah kan mau gimana. Dijalanin aja, diiyain aja.

Yang penting, aku udah tau kapan aku harus minggir dan menyingkir dari panggung yang bukan milikku. Kasi mereka yang menginginkannya. Jargon “kalo bisa mereka kenapa harus kita” itu ada masuk akalnya. Bukan karena kita nggak mau mengasah skill dan pengetahuan, tapi karena mereka yang lainnya bersikeras agar mereka aja. Yaudah, aku memilih santai dan menyingkir. Ringan rasanya.

Suka Karena…

Ada banyak alasan untuk menyukai seseorang. Kayak suka sama suatu band. Ada yang suka karena lagunya enak didenger, ada yang suka karena merupakan soundtrack suatu film, ada yang suka karena video klipnya bagus, ada yang suka karena personilnya ganteng, ada yang suka karena makna lagu-lagunya, banyakkk alasannya dan berbeda-beda.

Mungkin begitu juga sama kita. Ada yang suka sama kita karena ide dan pikiran kita, ada yang suka karena kita pernah bantu, ada yang suka karena kita baik menurut dia, ada yang suka (mungkin) karena kita cantik, dan lainnya.

Apapun itu, suatu band pasti akan menghasilkan karya terbaiknya. Kita pun, bisa berusaha menjadi yang terbaik dari diri kita.

Gila, bijak banget nggak tuh.. tapi itulah isi kepalaku. Di mana di sisi lain, pastiiiii ada yang nggak suka sama kita. Band pun pasti punya haters dengan berbagai macam alasan. Tapi dia tetep manggung untuk yang menyukainya. Kita pun bisa sama. Jadi, asalkan nggak melakukan kejahatan, kita bisa jadi diri sendiri, yang terbaikkkk.